SINARBANTEN.COM, Jakarta – Peneliti senior dari Departemen Sosial Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Vidhyandika Djati Perkasa, menilai kakacauan yang terjadi belakangan karena kevakuman kepemimpinan yang berakibat eskalasi semakin cepat memanas dan menyebar.
“Sekarang permasalahannya kita tidak punya trusted leadership, baik dari eksekutif maupun legislatif. Ini menjadi sumber kekacauan,” ucap Vidhyandika seperti dikutip dari bbc.com, Selasa (2/9/2025).
Selain itu, menurutnya, kondisi saat ini harusnya menjadi wake up call dan pembelajaran bagi DPR untuk menjalankan peran sebagai wakil rakyat, tidak arogan dan tidak meremehkan suara rakyat.
βKita bisa lihat kekuatan rakyat itu nyata dan bisa mematikan, terlepas ada kepentingan politik yang ingin memanfaatkan situasi seperti ini.β
Ia pun menyayangkan langkah yang diambil Presiden Prabowo justru menginstruksikan aparat untuk menindak tegas. Bahkan tersebar juga pemadaman lampu di area aksi hingga pemakaian peluru karet.
“Kalau itu benar kenapa justru kekerasan yang justru diwujudkan, bukannya menyelesaikan akar masalahnya.”
Apalagi, kata Vidhyandika, kini penjarahan sudah meluas, yang dikhawatirkannya justru menyasar pada sesama warga yang tidak terkait dengan permasalahan ini.
Pemerintah diharapkan mengeluarkan kebijakan yang jelas untuk menjaga legitimasinya dan tokoh-tokoh berpengaruh bisa ikut serta memberikan arahan pada masyarakat.
“Jangan diam saja. Anggota DPR juga jangan tiarap. Ini penting untuk menenangkan situasi,” kata Vidhyandika.
“Untuk konteks politik, kenapa anggota DPR malah ke luar negeri. Harusnya saat itu mereka menerima masyarakat, bukan malah dihadapkan dengan gas air mata.”
“Mereka datang ke rumah rakyat malah dihadapkan pada kekerasan yang terus memicu eskalasi,” ujar Vidhyandika.
Kebijakan yang jelas, kata Vidhyandika, adalah mengevaluasi program-program yang selama ini menyedot banyak anggaran tapi manfaatnya tidak dirasakan masyarakat.
“Di lapangan, rakyat yang mengalami dan merasakan. MBG (makan bergizi gratis), misalnya, belum bisa diimplementasi secara benar ya dikoreksi.
“Bukan sebaliknya mengatakan sudah berhasil. Kesenjangan ekonomi juga makin lebar,” kata Vidhyandika.
Penjarahan, tegas Vidhyandika, memang tidak dibenarkan. Tapi menurutnya pemerintah perlu berbenah, baik dalam sikap dan kebijakan pemerintah.
“Semua harus ditempatkan pada kepentingan rakyat. Legislatif dan yudikatif juga jangan jadi institusi yang pro-kekuasaan,” kata dia.
Vidhyandika juga menangkap ada pola yang mirip dengan situasi tahun 1998.
Kondisi ekonomi masyarakat yang timpang dan ketidakpekaan pejabat publik menjadi alasan rakyat untuk marah.
Ketika unjuk rasa mulai berlangsung, muncul letupan yang kemudian berubah menjadi tindakan seperti pengrusakan fasilitas umum, pembakaran, hingga penjarahan yang bukan dilakukan atau diinisiasi oleh peserta unjuk rasa.
“Menurut analisis saya, mengarah ke kerusuhan 1998. Semoga tidak seperti itu. Tapi intinya memang polanya mirip dengan kasus 98 itu,” ucap Vidhyandika.
Dengan minimnya kepemimpinan saat ini, ia memperkirakan situasi ini bisa berkepanjangan dan berpotensi makin parah, melihat eskalasi yang terjadi saat ini
Jika dibiarkan, menurut Vidhyandika, masyarakat adalah pihak yang paling dirugikan.
Secara terpisah, Hendardi dari Setara Institute menegaskan bahwa penjarahan tidak pernah dibenarkan oleh hukum dan bukan merupakan demonstrasi.
Oleh karena itu, menurutnya, aksi demonstrasi mahasiswa, buruh, ojol dan elemen sipil lainnya yang damai dan aksi anarkis pada malam hari hingga dini hari adalah dua hal yang berbeda.
“[Aksi anarkis] ini pola yang hanya bisa digerakkan oleh orang-orang terlatih. Kerumunan massa anarkis adalah fakta permukaan saja,” ucap Hendardi.
Dalam situasi inlah, apa yang disebut Hendardi sebagai “kontestasi kepentingan” diduga menggerakkan massa ini.
“Ada ketegangan elite, ada kontestasi kekuasaan, ada avonturir politik dan juga conflict entrepreneur yang memanfaatkan faktor-faktor penarik (push factor) yang menjadikan aksi damai tereskalasi menjadi anarki,” jelasnya.
Lebih lanjut, Hendardi bilang pemulihan harus segera dilakukan agar tidak mengundang lahirnya kebijakan represif baru, seperti darurat sipil, darurat militer dan pembenaran-pembenaran tindakan militer lanjutan.
“Momentum ini tidak boleh menjadi dasar pemberangusan kebebasan sipil dan kemunduran demokrasi semakin terpuruk.” *[ Redaksi SB ] ππ





























