Aprindo Sangat Setuju Terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja

SINARBANTEN.COM, Jakarta – Meskipun RUU Cipta Kerja telah disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja ditolak oleh Serikat pekerja seluruh Indonesia (SPSI) melalui demonstrasi buruh, tetapi pengusaha ritel tetap mengapresiasi pengesahan UU Cipta Kerja tersebut.

Para pengusaha ritel yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menilai aturan tersebut sangat dibutuhkan dan diperlukan saat ini, terlebih dengan adanya pandemi Covid-19.

“Kami sangat mendukung pengesahan UU Cipta Kerja tersebut karena ada lima asas yang sangat menguntungkan pihak pengusaha dan pekerja,” kata Ketua Umum Aprindo, Roy N. Mandey, Selasa (6/10/2020).

Asas pertama, terkait kepastian hukum kepada pelaku usaha maupun pekerja. Terkhusus, bagi investor baik dalam maupun luar negeri.

Kedua, omnibus law ini disebut mendorong kemudahan usaha. “Apalagi dalam pandemi sekarang itu sangat dibutuhkan. Jadi adanya fleksibilitas, lalu resilliance itu sangat diperlukan dalam kemudahan usaha karena pandemi ini membuat semua sektor underperform,” paparnya.

Selain itu, dengan kemudahan usaha ini Roy menilai akan menjadi magnet tersendiri untuk bagi investasi baik berasal dari asing maupun domestik.

Ketiga, asas kebersamaan. Ia menerangkan dari UU tersebut memiliki satu keseimbangan antara harapan pelaku usaha dan harapan dari pekerja, yakni produktivitas. “Jangan sampai dari sisi pelaku usaha berusaha menambah investasi tapi pekerja tidak memiliki produktivitas, itu kan namanya tidak ada kebersamaan,” lanjutnya.

Keempat yaitu kemandirian karena melalui UU Cipta Kerja akan mendorong khususnya koperasi dan umkm itu mendapat suatu pemeberdayaan yang mendorong mereka lebih mandiri. Tentunya dengan disertai kemudahan regulasi.

Kelima adanya pemerataan hak. “UU ini sebetulnya bukan untuk pengusaha saja, tapi juga tenaga kerja karena memang sama diaturnya. Dari pelaku usaha ada kepastian hukum dan kepastian berusaha dan pekerja terkait kebersamaan, kemandirian, dan pemerataan hak,” sebutnya.

Terkait kemudahan usaha, Roy mengakui sebelum adanya omnibus law kemudahan usaha sudah ada. Namun, ada peraturan yang bisa disederhanakan lagi dan dipermudah.

“Omnibus law ini memangkas peraturan daerah yang mungkin sudah tidak adaptif karena zaman makin maju dengan digitalisasi yang saat ini sudah masuk ekonomi 4.0 dan mau masuk 5.0. Nah, itu semua perlu perubahan atau dinamisasi. Dinamisasi ini kalau tidak ada omnibus law semua masih harus mengikuti peraturan yang mungkin sudah tidak adaptif itu. Ada ratusan Perda yang dikikis supaya apa, ya itu tadi, kemudahan usaha dan kepastian hukum,” jelasnya.

Oleh sebab itu, ia menilai dengan omnibus law ini pengusaha ritel modern semakin berniat untuk melakukan ekspansi. Ia menggambarkan sepanjang 2019 ada penambahan sebanyak 2.500-2.600 gerai baru.

Lebih lanjut, dari 5 toko ritel modern yaitu supermarket, minimarket, hypermarket, grosir, dan departement store adalah minimarket yang mencatatkan pertumbuhan tertinggi sekitar 2.000-2.500 toko per tahun.

Kemudian disusul supermarket, hypermarket, dan departement store sekitar 200-250 gerai atau 10% dari penambahan minimarket. Wholeseller jumlahnya sekitar 20-25 gerai. “Jadi per tahun kurang lebih bertambah 2.500-3.000 gerai per tahun atau per bulan diperkirakan ada penambahan sekitar 200 gerai baru di 2019,” paparnya.

Dengan kemudahan usaha yang diatur dalam omnibus law, Roy memprediksi akan ada peningkatan gerai baru 10%-15% per bulannya, karena korelasinya kepastian hukum, kemudahan usaha, kebersamaan, kemandirian, dan pemerataan hak,” pungkasnya. *[ Redaksi SB ] 🙏🙏