SINARBANTEN.COM, Serang – Warga keturunan Tionghoa melakukan cuci rupang satu minggu sebelum Imlek karena pada saat itu dewa dan dewi naik ke langit meninggalkan rupang serta altar untuk melaporkan apa yang telah mereka catat selama satu tahun. Tradisi mencuci rupang atau patung yang dilakukan oleh warga keturunan Tionghoa merupakan kegiatan rutin tahunan menjelang Imlek (tahun baru China).
“Dalam rangka menyambut tahun baru Imlek, kebiasaan kami di Vihara melakukan pembersihan altar dan juga rupang atau patung. Dicucinya pun menggunakan air bunga. Ini dilakukan setiap satu minggu menjelang Imlek,” ujar Wahyudi Tresna Ketua Rohani Vihara Satya Dharma Agung Lopang Kota Serang.
Ia mengatakan, Vihara Satya Dharma Agung atau Cetya Kwan Ti Kong memiliki enam altar dengan satu altar utama dan puluhan rupang dewa dan dewi. “Untuk altar di Vihara Satya Dharma Agung ini totalnya ada enam, dan untuk patungnya ada puluhan, ya sekitaran 30 lebih lah,” ujarnya.
Setelah dilakukan pencucian, rupang-rupang tersebut disusun kembali seperti semula. Kemudian melakukan ritual sembahyang untuk memberkati lagi.
Biasanya pembersihan rupang dilakukan setiap satu tahun sekali menjelang Imlek. Namun, khusus di Vihara Satya Dharma Agung, cuci rupang dilakukan satu tahun dua kali.
“Kalau di vihara ini khususnya satu tahun dua kali. Dimana yang pencucian pertama itu di bulan enam sesuai penanggalan China, itu memperingati hari ulang tahun atau hari kebesaran Kongco Kwan Kong. Nah yang kedua, seminggu menjelang Imlek,” katanya.
Pada hakekatnya ketika orang bersembahyang, tentunya perlu tempat sembahyang yang bersih dan mulia. Selain di vihara, kegiatan pembersihan ini juga dilakukan oleh warga keturunan Tionghoa lainnya terhadap altar sembahyang untuk dewa dan arwah para leluhur di rumah masing-masing. “Khusus jelang Imlek semua melakukan hal yang sama,” ucap Wahyudi.
Sementara yang lain melakukan pembersihan rupang, Ketua Vihara Satya Dharma Agung Lopang Kota Serang Lim Kian Seng sibuk membakar kertas emas bekas dudukan rupang.
“Pencucian ini memang membersihkan semua ya, menyeluruh. Seperti ini kami bakar kertas emas bekas dudukan rupang, jadi yang bekas ini harus dibakar. Kalau menyambut Imlek semua harus baru,” ujarnya.
Zaman dahulu tujuan dari dibakarnya kertas emas bekas dudukan rupang tersebut merupakan ongkos untuk para dewa dan dewi di sana.
“Kalau di zaman dulu, pembakaran ini sebagai ongkos juga buat yang di sana nanti. Ada dua macam kertas, yang satu kertas perak dan satu lagi kertas emas,” katanya.
Seperti yang diketahui, ada dua jenis kertas yang digunakan dalam tradisi tersebut. Yakni, kertas yang bagian tengahnya berwarna keemasan atau biasa disebut Kim Cua, dan yang berwarna keperakan atau Gin Cua.
Berdasarkan ceritanya kebiasaan membakar Kim Cua digunakan untuk upacara sembahyang kepada dewa-dewa. Sedangkan Gin Cua untuk upacara sembahyang kepada para leluhur dan arwah orang yang sudah meninggal dunia. *[ SM ] ??