SINARBANTEN.COM, Serang – Festival Kopi Banten 2019 kali ini mengusung tema: “Banten punya kopi.” Tema tersebut sangat sesuai dengan kondisi di Banten karena pada kenyataannya Banten memang punya kopi khas. Kopi Baduy salah satunya, kopi jenis robusta ini sudah mendapat pengakuan dan banyak dicari bule-bule Eropa.
Suara mesin grinder berdesing. Tampak alat sedang menjalankan fungsinya, menggiling biji kopi. Dari bentuknya yang setengah bulat menjadi serbuk. Terus dan terus suara desingan masuk ke telinga saat digelarnya Festival Kopi Banten 2019 di halaman Pendopo Bupati Serang, Kamis (25/4/2019).
Biji kopi menjadi serbuk bukan berarti aktivitas berhenti. Tangan cekatan barista langsung mengolahnya. Kopi diseduh dengan air hangat dengan volume yang penuh perhitungan demi mendapatkan rasa terbaik. Selain kopi hangat, ada juga yang menyajikan kopi dicampur es dan krimer. Ini juga penuh perhitungan, setiap apa yang dicampur dalam kopi memiliki takaran yang diukur langsung oleh alat timbang mini.
Sepuluh barista dari 10 kedai kopi ternama di Banten yang membuka stand saling berlomba menyajikan racikan terbaiknya. Racikan semua memakai biji kopi lokal Banten. Di tengah hiruk pikuknya suara grinder, ada satu stand justru sunyi. Tidak ada suara alat itu di sana, tepatnya di stand milik Dinas Pertanian Provinsi Banten. Kesunyian itu dikarenakan untuk menumbuk kopi, stand itu lebih memilih menunggunakan grinder manual dan juga menumbuk secara tradisional. Ada juga yang memang sedari awal sudah dibawa dalam bentuk serbuk.
Berbincang dengan salah seorang penjaga stand, tekniknya tradisional itu adalah dengan menggunakan alu, alat tumbuk yang terbuat dari kayu. Cara itu dipilih karena memang biji kopi yang disajikan kental dengan nuansa tradisional.
Kenapa demikian? Karena salah satu kopi disajikan adalah kopi Baduy yang berasal dari Bukit Kuru, Baduy Luar, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Ada juga dua jenis kopi yang disajikan di stand itu yaitu kopi robusta asal Anyer, Kabupaten Serang dan Saketi, Kabupaten Pandeglang.
Begitu fasih penjaga stand mengungkap identitas kopi Baduy. Ternyata dia adalah seorang petani kopi asli Baduy bernama Astiwin. Mudah ditebak memang karena cara berpakaiannya identik dengan Suku Baduy. Celana sebatas lutut, pakaian serba hitam dengan ikat kepala berwarna biru hitam.
Keikutsertaannya dalam festival diakuinya karena dia ingin mengenalkan kopi Baduy ke masyarakat luas. Dia ingin memberi tahu jika Banten punya kopi lokal dengan rasa yang tak kalah nikmatnya dengan kopi daerah lain.
Diungkapkannya, yang menjadi keunggulan kopi Baduy adalah dari segi rasa. Kopinya memiliki rasa lebih pulen dan cukup erat menempel sehingga menciptakan rasa yang mudah dikenang. Keunggulan lainnya adalah tanaman kopi di sana tumbuh secara alami yang sudah tumbuh sudah sejak lama dengan usia mencapai puluhan tahun. Sedangkan dari segi fisik, kopi Baduy memiliki warna yang sedikit lebih hitam.
“Sahari-hari di Baduy biasana numbuk pakai alu (sehari-hari di Baduy biasanya numbuk pakau alu). Kopi murni teu kasentuh ku mesin (kopi murni tanpa sentuhan mesin). Bedana mun make mesin sauetik aya haseup, tergulung jeung kadar bensin (bedanya kalau pakai mesin ada aroma asap sedikit, tergulung sama kadar bensin),” ujarnya dengan logat khas Suku Baduy.
Karena kopi murni dengan pengolahan tradisional, kopi Baduy ketika diminta diakuinya akan memberikan kesan kemurnian yang lebih. Dampaknya, peminum akan merasakan kesan rileks yang lebih.
Kesan itu lah yang juga dirasakan para wisatawan mancanegara asal Belanda hingga Prancis saat berkunjung ke Desa Adat Baduy. Saat menyeruput kopi Baduy, bule-bule itu sangat menikmatinya. “Good, good,” tutur Astiwin menirukan ucapan wisatawan mancanegara itu sambil mengacungkan jempolnya.
Mendapat kesan baik, akhirnya setiap ada wisatawan mancanegara yang datang maka Astiwin selalu menyodorkan kopi Baduy. Responsnya? Ternyata selalu positif. Waktu pun berselang dan perlahan kondisinya berbalik. Kini para bule itu yang menanyakan soal kopi Baduy. Entah tahu dari mana, mungkin dampak dari kabar orang-orang kulit putih yang sudah berkunjung sebelumnya.
Puncaknya, beberapa tahun lalu ketika ada kunjungan dari 25 negara ke Desa Adat Baduy. Selain melakukan penelitian, lagi-lagi yang dicari adalah kopi Baduy. Semua peserta kunjungan meminum kopi tersebut. Sekali lagi, pria berkumis itu mengangkat jempolnya sambil berkata “good, good” untuk menggambarkan kesan perwakilan 25 negara itu.
Meski sudah dikenal hingga benua biru namun pemasaran kopi Baduy belum bisa mendunia. Astiwin baru bisa menjual hasil taninya hanya hingga toko-toko di Kabupaten Lebak. Pertahun warga Baduy luat bisa memproduksi empat hingga lima ton kopi. Besaran itu diperoleh dari sejumlah warga Baduy Luar yang memang memiliki kebon kopi. Kopi-kopi itu dijual dengan harga Rp 20.000 hingga Rp 30.000 per kilogram.
Dia mengakui, belum baiknya pemasaran kopi Baduy dikarenakan warga belum menggarapnya dengan serius. Harga yang jatuh semakin membuat sulit untuk pengembangannya sehingga beberapa petani di Baduy Luar mengabaikan kopinya.
Pengembangan kopi Baduy, dijelaskannya cukup sulit karena selama ini belum ada pembinaan yang diberikan oleh pemerintah setempat. Kini yang bisa dilakukannya hanyalah dengan meningkatkan kualitas kopi sambil berharap ada program dari pemerintah yang masuk.
“Kemarin banyak teman-teman dari Serang meriksa supaya kopi ini bisa bangkit. Tinggal diurus dengan baik, direndam, dikupas, dijemur dengan baik jangan sampai ada jamur, itu sudah hebat. Kitu ceuk nu mariksa (begitu kata yang meriksa),” paparnya.
Banten juga ternyata punya potensi untuk komoditas kopi. Butuh perjuangan bersama untuk mengoptimalkannya. Selain pemerintah dengan bantuan programnya, petani pun harus bisa tahan terhadap godaan alih fungsi lahan untuk kepentingan komersil. *[ HGR ] ??